Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl : 97)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah swt menjanjikan kepada orang yang beramal shalih baik itu perempuan atau laki-laki dan ia beriman, untuk memberikan kehidupan yang baik serta pahala yang lebih baik dari apa yang ia amalkan sebagai balasan.
Ada beberapa pendapat dari ulama mengenai makna amal shalih, diantaranya sebagai berikut:
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan amal shalih di sini adalah amal yang bermanfaat dan sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis Nabi saw.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa amal shalih adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan.
Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa amal shalih adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan sunah Nabi
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa makna pokok dari amal shalih adalah amal yang bermanfaat baik bagi diri sendiri dan orang lain.
Adapun kehidupan yang baik dalam ayat tersebut menurut Ibnu Katsir adalah kehidupan yang bahagia, tenang, dan mendapatkan kecukupan rezeki yang halal. Yang perlu digaris bawahi di sini adalah kehidupan yang baik itu bukan berarti kehidupan yang mewah yang luput dari ujian, tetapi ia adalah kehidupan yang diliputi rasa lega, kerelaan, serta kesabaran dalam menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah swt. Dengan demikian, yang bersangkutan tidak merasa takut yang mencekam, atau kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu menyadari bahwa pilihan Allah swt adalah yang terbaik, dan di balik segala sesuatu ada ganjaran yang menanti.
Masih ada pendapat lain tentang makna kehidupan yang baik yang dimaksud. Misalnya, kehidupan di surga kelak, atau di alam Barzah, atau kehidupan yang diwarnai oleh qana’ah, atau rezeki yang halal.
Kesemuanya itu jika disatukan maka berkumpul pada satu titik kesimpulan bahwa yang dimaksud kehidupan yang baik adalah kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Selain itu, dapat kita cermati bahwa dalam ayat ini juga berbicara tentang pentingnya iman dalam menyertai amal.
Setiap amal yang tidak dibarengi dengan keimanan, maka dampaknya hanya sementara. Dalam kehidupan dunia ini terdapat hal-hal yang kelihatan sangat kecil bahkan tidak terlihat oleh pandangan, tetapi justru merupakan unsur asasi bagi sesuatu. Ibaratnya seperti setetes racun yang diletakan di gelas yang penuh air, tidaklah mengubah kadar dan warna cairan di gelas itu, tetapi pengaruhnya sangat fatal. Begitu pula, kekufuran/ketiadaan iman yang bersemai di hati orang-orang kafir bahkan yang mengaku muslim sekalipun, merupakan nilai yang merusak. Karena itulah sehingga berkali-kali al-Qur’an memperingatkan pentingnya iman menyertai amal, karena tanpa iman kepada Allah swt amal ini akan menjadi sia-sia belaka. Allah berfirman:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS. Al-Furqan (25): 23)
Maka beruntunglah orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dengan hadiah yang telah dijanjikan oleh Allah swt, karena hal tersebut tidak akan diperoleh oleh orang-orang yang berpaling dari mengingat Allah swt, tidak beriman dan tidak mengerjakan amal shalih.
Rasulullah saw bersabda:
قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَّافًا وَقَنَعَهُ اللهُ بِمَا آتاهُ
Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, ia mendapat rezeki yang cukup dan merasa puas dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tidak beriman serta tidak mengerjakan amal shalih, maka ia akan senantiasa berada dalam kesusahan. Apabila ditimpa suatu bencana atau cobaan, maka ia akan merasa sangat bersedih hati, gundah dan gelisah. Kemudian apabila ia tidak memperoleh apa yang ia kehendaki berupa kesenagan dunia, maka ia akan bersedih hati karena ia mengira bahwa puncak kebahagiaan adalah tercapainya kesenangan hidup dan menikmati kelezatannya
Hal lain yang dapat kita maknai adalah bahwa ayat ini menekankan persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal beramal shalih. Artinya baik laki-laki maupun perempuan dituntut agar melakukan amalan-amalan yang bermanfaat baik untuk dirinya dan orang lain.
7 Tanda Kebahagiaan Dunia
Ibnu Abbas r.a. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang terkenal dengan julukan Turjumaanul Qur’an (orang yang paling ahli dalam menerjemahkan Alquran). suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi sesudah para Sahabat) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Ibnu Abbas menjawab bahwa ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Pertama, Hati yang selalu bersyukur.
Artinya selalu menerima apa yang telah Allah SWT berikan dengan ikhlas apapun bentuknya. Agar dapat selalu bersyukur, maka mestilah kita memahami ayat. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” (QS. Al Mu’minun, 23 : 1)
Mengapa beruntung?. Karena setiap peristiwa apapun itu yang ditimpakan oleh Allah terhadap hambanya yang beriman adalah sebuah keberuntungan bagi dirinya. Apapun bentuknya. Tetapi kuncinya jika hambanya ikhlas. Ikhlas dalam artian memurnikan. Ilustrasinya jika dia diberikan kesenangan, orang yang beriman akan ikhlas dan bersyukur dengan memuji Allah, berdoa serta membagikan rizki, kesenangan atau nikmatnya kepada hamba-hamba lainnya.
Dalam hadits yg diriwayatkan Imam Muslim (shahih muslim no. 4673) dinyatakan bahwa : Rasulullah bersabda "janganlah kamu sekalian terlalu bersedih & tetaplah berbuat kebaikan karena dalam setiap musibah yang menimpa seorang muslim terdapat penghapusan dosa bahkan bencana kecil yg menimpanya atau karena sebuah duri yg menusuknya."
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. berbahagialah orang yang pandai bersyukur!
Kedua, pasangan hidup yang sholeh.
Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh.
sebaliknya pula seorang istri yang sholehah, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suami dan anak-anaknya. Pasangan hidup yang saleh. ia menciptakan suasana rumah teduh dan menurunkan keluarga yang saleh pula. indah dan menentramkan. para peneliti membuktikan, kesalehan (inner beauty) adalah 2/3 faktor penentu kebahagiaan hidup, sedangkan kecantikan atau ketampanan dan kekayaan hanyalah 1/3 darinya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami/istri yang memiliki seorang suami/istri yang sholehah.
Ketiga, anak yang sholeh.
Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang selalu mendoakannya." (HR. Muslim)
Saat Rasulullah SAW thawaf. Rasulullah bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasul bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia.
Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?”
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.
Keempat, lingkungan yang kondusif untuk iman kita.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)." (QS. At Taubah, 9 : 119)
Nabi SAW juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat harumnya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari)
Kelima, harta yang halal.
Harta yang halal. yang terpenting dalam Islam kualitas harta, bukan kuantitas harta. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”.
Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
Keenam, semangat untuk memahami agama.
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.
Ketujuh, umur yang barokah.
Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Umur yang dalam kesehariannya selama 24 jam adalah menjadi nilai ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Allah SWT. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya barokah.
والله أعلم بالصواب
Sumber : mediaislamia.com
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl : 97)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah swt menjanjikan kepada orang yang beramal shalih baik itu perempuan atau laki-laki dan ia beriman, untuk memberikan kehidupan yang baik serta pahala yang lebih baik dari apa yang ia amalkan sebagai balasan.
Ada beberapa pendapat dari ulama mengenai makna amal shalih, diantaranya sebagai berikut:
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan amal shalih di sini adalah amal yang bermanfaat dan sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis Nabi saw.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa amal shalih adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan.
Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa amal shalih adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan sunah Nabi
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa makna pokok dari amal shalih adalah amal yang bermanfaat baik bagi diri sendiri dan orang lain.
Adapun kehidupan yang baik dalam ayat tersebut menurut Ibnu Katsir adalah kehidupan yang bahagia, tenang, dan mendapatkan kecukupan rezeki yang halal. Yang perlu digaris bawahi di sini adalah kehidupan yang baik itu bukan berarti kehidupan yang mewah yang luput dari ujian, tetapi ia adalah kehidupan yang diliputi rasa lega, kerelaan, serta kesabaran dalam menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah swt. Dengan demikian, yang bersangkutan tidak merasa takut yang mencekam, atau kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu menyadari bahwa pilihan Allah swt adalah yang terbaik, dan di balik segala sesuatu ada ganjaran yang menanti.
Masih ada pendapat lain tentang makna kehidupan yang baik yang dimaksud. Misalnya, kehidupan di surga kelak, atau di alam Barzah, atau kehidupan yang diwarnai oleh qana’ah, atau rezeki yang halal.
Kesemuanya itu jika disatukan maka berkumpul pada satu titik kesimpulan bahwa yang dimaksud kehidupan yang baik adalah kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Selain itu, dapat kita cermati bahwa dalam ayat ini juga berbicara tentang pentingnya iman dalam menyertai amal.
Setiap amal yang tidak dibarengi dengan keimanan, maka dampaknya hanya sementara. Dalam kehidupan dunia ini terdapat hal-hal yang kelihatan sangat kecil bahkan tidak terlihat oleh pandangan, tetapi justru merupakan unsur asasi bagi sesuatu. Ibaratnya seperti setetes racun yang diletakan di gelas yang penuh air, tidaklah mengubah kadar dan warna cairan di gelas itu, tetapi pengaruhnya sangat fatal. Begitu pula, kekufuran/ketiadaan iman yang bersemai di hati orang-orang kafir bahkan yang mengaku muslim sekalipun, merupakan nilai yang merusak. Karena itulah sehingga berkali-kali al-Qur’an memperingatkan pentingnya iman menyertai amal, karena tanpa iman kepada Allah swt amal ini akan menjadi sia-sia belaka. Allah berfirman:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS. Al-Furqan (25): 23)
Maka beruntunglah orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dengan hadiah yang telah dijanjikan oleh Allah swt, karena hal tersebut tidak akan diperoleh oleh orang-orang yang berpaling dari mengingat Allah swt, tidak beriman dan tidak mengerjakan amal shalih.
Rasulullah saw bersabda:
قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَّافًا وَقَنَعَهُ اللهُ بِمَا آتاهُ
Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, ia mendapat rezeki yang cukup dan merasa puas dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tidak beriman serta tidak mengerjakan amal shalih, maka ia akan senantiasa berada dalam kesusahan. Apabila ditimpa suatu bencana atau cobaan, maka ia akan merasa sangat bersedih hati, gundah dan gelisah. Kemudian apabila ia tidak memperoleh apa yang ia kehendaki berupa kesenagan dunia, maka ia akan bersedih hati karena ia mengira bahwa puncak kebahagiaan adalah tercapainya kesenangan hidup dan menikmati kelezatannya
Hal lain yang dapat kita maknai adalah bahwa ayat ini menekankan persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal beramal shalih. Artinya baik laki-laki maupun perempuan dituntut agar melakukan amalan-amalan yang bermanfaat baik untuk dirinya dan orang lain.
7 Tanda Kebahagiaan Dunia
Ibnu Abbas r.a. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang terkenal dengan julukan Turjumaanul Qur’an (orang yang paling ahli dalam menerjemahkan Alquran). suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi sesudah para Sahabat) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Ibnu Abbas menjawab bahwa ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Pertama, Hati yang selalu bersyukur.
Artinya selalu menerima apa yang telah Allah SWT berikan dengan ikhlas apapun bentuknya. Agar dapat selalu bersyukur, maka mestilah kita memahami ayat. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” (QS. Al Mu’minun, 23 : 1)
Mengapa beruntung?. Karena setiap peristiwa apapun itu yang ditimpakan oleh Allah terhadap hambanya yang beriman adalah sebuah keberuntungan bagi dirinya. Apapun bentuknya. Tetapi kuncinya jika hambanya ikhlas. Ikhlas dalam artian memurnikan. Ilustrasinya jika dia diberikan kesenangan, orang yang beriman akan ikhlas dan bersyukur dengan memuji Allah, berdoa serta membagikan rizki, kesenangan atau nikmatnya kepada hamba-hamba lainnya.
Dalam hadits yg diriwayatkan Imam Muslim (shahih muslim no. 4673) dinyatakan bahwa : Rasulullah bersabda "janganlah kamu sekalian terlalu bersedih & tetaplah berbuat kebaikan karena dalam setiap musibah yang menimpa seorang muslim terdapat penghapusan dosa bahkan bencana kecil yg menimpanya atau karena sebuah duri yg menusuknya."
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. berbahagialah orang yang pandai bersyukur!
Kedua, pasangan hidup yang sholeh.
Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh.
sebaliknya pula seorang istri yang sholehah, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suami dan anak-anaknya. Pasangan hidup yang saleh. ia menciptakan suasana rumah teduh dan menurunkan keluarga yang saleh pula. indah dan menentramkan. para peneliti membuktikan, kesalehan (inner beauty) adalah 2/3 faktor penentu kebahagiaan hidup, sedangkan kecantikan atau ketampanan dan kekayaan hanyalah 1/3 darinya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami/istri yang memiliki seorang suami/istri yang sholehah.
Ketiga, anak yang sholeh.
Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang selalu mendoakannya." (HR. Muslim)
Saat Rasulullah SAW thawaf. Rasulullah bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasul bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia.
Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?”
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.
Keempat, lingkungan yang kondusif untuk iman kita.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)." (QS. At Taubah, 9 : 119)
Nabi SAW juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat harumnya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari)
Kelima, harta yang halal.
Harta yang halal. yang terpenting dalam Islam kualitas harta, bukan kuantitas harta. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”.
Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
Keenam, semangat untuk memahami agama.
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.
Ketujuh, umur yang barokah.
Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Umur yang dalam kesehariannya selama 24 jam adalah menjadi nilai ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Allah SWT. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya barokah.
والله أعلم بالصواب
Sumber : mediaislamia.com